Alasan Kenapa Sulit Merekrut Software Engineer?
Betul, Indonesia masih kekurangan suplai software engineer. Tapi boleh jadi, penjabaran lowongan kerjanya juga miskin daya pikat. -Ariya Hidayat
Hambar dan Membosankan
Andainya Pak Affandi, pelukis tersohor Indonesia, masih hidup dan kemudian Anda datang ke beliau, “Pak, bisa tolong buatkan saya sebuah lukisan pemandangan indah. Gunung, sawah, jalan pematang, serta langit biru cerah”. Walaupun bayarannya sepadan, kemungkinan besar beliau tidak akan tertarik sama sekali.
Banyak yang lupa, bahwa menjadi software engineer (dan juga hardware engineer) adalah pekerjaan yang kreatif. Memang, harfiahnya adalah kegiatan rekayasa. Tapi pada dasarnya, lumrah sekali untuk juga melibatkan aspek kreatifitas di sana sini. Walhasil, sebagaimana kerja kreatif lainnya, tidak menggiurkan kalau tawaran kerjanya itu-itu saja, serupa, 11–12, atau malah sama persis dengan lusinan lowongannya lainnya.
Tenggelam di tengah-tengah samudera loker (=lowongan kerja). Nggak stand out, begitu tukas anak gaul. Perhatikan loker berikut ini. Tentu saja ini contoh fiktif, tapi sangat mirip dengan loker-loker nyata yang terpengaruh kaidah yang sama, tersebar di berbagai forum, dari Instagram hingga Telegram.
Tidak ada keunikan sedikit pun. Membosankan. Seolah membaca iklan mini di surat kabar jadul. Daftar persyaratannya pun seakan copas dari loker lain.
Team player. Jelas dong! Perusahaan mana yang mau mencari pekerja solo yang egois.
Sanggup bekerja dalam tekanan. Apanya yang bisa menggiurkan? Malah bikin kandidatnya ilfil.
Gaji bisa dinegosiasi. Di kalangan pencari kerja, ini adalah kode khusus. Artinya: gaji kecil. Kenapa tidak dicantumkan saja rentangnya? Lagipula, mengapa harus negosiasi? Ini engineernya disuruh melamar kerja atau berlatih membebaskan sandera dari teroris?
Antoine de Saint-Exupéry, penulis novel Le Petit Prince pernah berujar:
If you want to build a ship, don’t drum up the men to gather wood, divide the work and give orders. Instead, teach them to yearn for the vast and endless sea.
Kalau diterjemahkan ke urusan perekrutan engineer, jangan daftarkan hal-hal yang mesti dikerjakan dan menjadi tanggung jawab. Jual saja “mimpi”, tentunya dalam konteks yang positif.
Ceritakan keindahan, kemegahan, pesona, dan kedahsyatan produk yang dibangun. Cantumkan juga manfaat dan faedahnya untuk khalayak ramai.
Sentuh sisi emosional sang kandidat. Bangkitkan impian mereka untuk berjaya mengarungi samudera teknologi.
” PT Perabot Kualitas Wahid mencari mobile engineer untuk merancang dan meluncurkan sebuah aplikasi revolusioner yang membuka akses kepada pemilik cafe, pengelola kantor, karyawan (apalagi yang WFH), mahasiswa/i, ibu rumah tangga, dan berbagai ragam user lainnya, untuk dapat mendesain, mengkonfigurasi, dan memesan segala rupa perabot/mebel/furniture langsung secara online! Dari sofa comfy hingga kursi gaming. Rak dapur maupun rak buku. Meja kursi keren untuk nongkrong dan ngopi, ataupun untuk belajar anak. Pesan sofa baru selagi rebahan di sofa yang sekarang. Mendesain mebel dari ponsel? Tidak masalah (asalkan iOS atau Android, maaf ya Blackberry). Lebih suka pakai Virtual Reality (VR)? Juga bisa! Dengan sistem integrasi yang lengkap & menyeluruh (mobile, front-end, back-end, supply chain, production, delivery), user dijamin puas karena efisiensi tinggi, kualitas melonjak, dan harga akan sangat bersaing. Lekaslah bergabung dengan tim kami! Mari kita bersama-sama memberdayakan pekerja kreatif dan tukang kayu lokal, menggerakkan industri furniture dalam negeri, dan membangkitkan Indonesia tercinta dari resesi ekonomi!”
Yuk, siapa yang mau menjajal model loker seperti di atas?
Berburu Manusia Setengah Dewa
Hambatan kedua yang sering mengganggu proses rekrut engineer adalah persyaratan yang diminta (requirement, begitu kata pemain teknologi) ajaib dan mustahil untuk digapai.
Lowongan DevOps mencari yang berpengalaman pakai Kubernetes selama 10 tahun. Gimana caranya tuh? Kubernetes sendiri baru diluncurkan tahun 2014.
Ada yang ingin dibuatkan aplikasi Android dan iOS dengan React Native tapi pengen pakar React Native minimal sudah 5 tahun. Padahal umur React Native juga sekitar segitu. Lho, emang mau nyari engineer-engineer Facebook yang membidani lahirnya React Native?
Di kasus lain, yang membuat tidak masuk akal adalah karena kandidat yang dicari harus jago segala macam, dari front-end, back-end, database, sysadmin, cloud, dan seabrek teknologi lainnya. Padahal, walaupun seorang Gundala ataupun Dewi Api bisa dibilang sebagai makhluk yang digdaya, kemampuan superhero mereka pun tetap ada batasnya.
Loker superhero yang nggak ada akhlak seperti ini juga bakal merusak reputasi perusahaan. Bagi pencari kerja, kengawuran seperti ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang menawarkan pekerjaan tersebut asal-asalan saja. Belum mulai kerja sudah seperti ini, bagaimana nanti kalau pas sudah ada kontrak? Terus gimana juga begitu berdikusi soal performance review?
Untuk menghindari lowongan kerja tidak masuk akal (sekaligus juga mengelakkan kemungkinan dihujat warganet), pastikan postingan loker yang mau disebarkan sudah direview dan ditinjau berkali-kali. Bila perlu, minta juga tim engineering yang ada untuk membantu menganalisa dan memberikan umpan balik. Measure twice, cut once!
Siasat Tidak Jitu
Siapa yang tak suka nangkring di kedai makan pinggir jalan berspanduk pecel lele yang legendaris? Tapi tentunya, kalau sudah hendak memesan, jangan mintanya menu lain seperti sushi, bibimbap, dan dumpling. Itu namanya salah warung!
Mau nyari jagoan front-end? Atau programer Android? Atau yang mainan hariannya adalah Kubernetes? Tolong dong dilacak dan dipelajari dulu di mana gerangan tempat main and nongkrongnya, baik fisik maupun virtual, mereka-mereka yang dicari itu. Kalau tanpa penyelidikan terus main nge-spam lusinan grup Whatsapp, termasuk grup keluarga apalagi grup ghibah, jelas bakal nol besar hasilnya. Lagi-lagi salah lokasi!
Dulu saya pernah mendengarkan keluhan seorang kawan. Dia awalnya bekerja di Google, kemudian memutuskan untuk keluar dan membangun sebuah perusahaan rintisan (startup). Setelah mendapat kucuran dana yang gemuk, langsung dia bersama cofounder yang lain pontang-panting untuk merekrut. Dia pun menggunakan taktik dan metodologi yang sama yang dipelajarinya selama masih di Google. Walhasil, gagal total dong!
Karena filternya ala Google, sudah jelas kandidat-kandidat yang terjaring (baik via LinkedIn ataupun koneksi lain) juga sedang melakukan proses interview secara paralel dengan Google (ataupun perusahaan besar yang mirip-mirip). Ini menciptakan kompetisi yang sangat berat, karena secara naluriah, kandidat-kandidat tersebut cenderung memilih masuk ke Google daripada ke startup kecil yang masih nggak jelas.
Cerita ini bukan cerita unik. Entah berapa kali saya mendengar kegalauan founder startup yang merasa berat berkompetisi dengan Unicorn manakala sedang berburu talenta. Sudah pasti berat dong kalau startup yang masih kecil memilih untuk bermain di laga perangnya Unicorn. Salah medan tempur! Kalah besar, kalah duit, dan kalah pamor. Ujung-ujungnya? Kalah tawaran juga.
Begitu kawan saya ini berganti siasat, barulah solusinya ketemu. Dia langsung rajin menghadiri ratusan meetup, tempat kumpulnya pada developer selepas jam kerja. Dari bincang-bincang semasa sosialisasi meetup tersebut, lumayan beberapa calon kandidat dikail untuk dijebloskan ke proses interview. Lagipula, rekruternya Google mana sempat mengejar engineer-engineer yang ngumpul di meetup. Dengan demikian, persaingan dengan Google pun dapat dihindari.
Ada lagi strategi serupa oleh kawan yang lain lagi. Dia malah menelusuri akun-akun GitHub dari relawan proyek-proyek di ekosistem open-source yang dia pakai di startupnya. Dari situ, terciduklah sejumlah kandidat berkualitas yang buah tangannya tidak diragukan lagi. Mengambil pemain-pemain yang berkecimpung di dunia open-source sekarang menjadi salah satu garda perekrutan, terutama bagi startup kecil.
Lucunya, buat kita, ini adalah pelajaran yang tidak asing lagi. Dari jaman Panglima Besar Jendral Sudirman, kita pun sudah paham, kalau hanya bersenjatakan bambu runcing, ya jangan perang frontal di medan tempur berhadapan dengan lawan yang dilengkapi senapan mesin. Secara definisi, itu mencari kekonyolan tiada tara. Apa yang mesti dilakukan? Gunakan siasat gerilya!
Cakrawala yang Cerah
Negara Indonesia adalah negara yang besar. Kecermelangannya di masa depan akan sangat bergantung cara kita merangkul sumber daya manusia yang akan memupuk dan menumbuhkan kejayaan penguasaan teknologi. Hindarkan lowongan kerja yang hanya mengundang rasa kantuk. Sodorkan tantangan yang nyata. Berhenti menguber rockstar, ninja, dan superhero. Carilah manusia-manusia penuh potensial yang ambisius untuk terus ditempa. Pahami siasat berlaga. Kegesitan dan kelincahan bisa menjadi jurus utama.
Baca juga:
Sumber bacaan ini berasal dari web medium.com yang ditulis oleh Ariya Hidayat